Wednesday, December 28, 2016

Coffee Talk #3: A Mental Game.

Blog post tentang Coffee Talk kali ini harus rela tanpa foto gelas/cangkir kopinya, karena gue males upload aja. Tiga bulan terakhir ini gue ngga nulis tentang Coffee Talk bukan karena gue lagi ngga ngopi, tapi meaningful conversation itu ternyata jarang loh didapatkan. Lebih sering gosip, ngeluh, atau gosip sambil ngeluh. We are all humans afterall.. :)

Sebutlah namanya Ajeng -karena itu memang nama aslinya- seorang teman yang baru gue kenal 2 tahun belakangan sejak kita belajar ngurus perusahaan startup. Gue dan Ajeng mudah banget untuk klop karena umur dan experience kami selevel, jadi mudah banget untuk saling tukar pikiran. Kami udah beberapa kali ngobrol sambil ngopi-ngopi, dan pembicaraannya ngga jauh-jauh dari managing human capital perusahaan startup yang lagi booming di Indonesia (soalnya kami sama-sama lulusan Psikologi Industri Organisasi, dan gue pernah main di startup).

Karena experience gue membentuk gue sebagai orang yang berpikiran konseptual dan strategic, banyak banget ilmu human capital yang mental di gue (ngga bisa diterima) karena beberapa pandangan HR terlalu tradisional. Tapi karena Ajeng ini dinamis banget orangnya, gue selalu merasa nyaman bertukar pikiran dengan Ajeng. She's one of the best, dan saat ini berada di posisi dan perusahaan yang tepat.

Lucunya saat ini gue dan Ajeng lagi worrying hal yang sama, yaitu keseriusan orang dalam bekerja. Kami memiliki satu pertanyaan simple yang pengen banget ditanyain ke 100 orang di sekitar kami, "Lo serius kerja ngga sih?"

Serius itu bisa jadi banyak maknanya, sehingga bisa aja orang-orang balik nyuruh, "Define Serious!". Tapi tanpa perlu definisi textbook atau Oxford Dictionary, keseriusan itu biasanya udah tercermin dalam perilaku masing-masing sehingga orang yang serius bekerja kemungkinan ngga perlu mikir sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Orang yang serius bekerja pun, menurut kami ngga akan menjawab, "Serius sih.. tapi..". Because there is no "But".

Serius juga punya impact terhadap banyak hal; mulai dari performance, kenyamanan kerja, confidence level, productivity, sampai loyalitas. Buat gue personally, keseriusan itu bisa dibuktikan kalau seseorang sudah menunjukkan sequence of behaviour yang konsisten terhadap/mengenai apa yang ia kerjakan, even though tantangannya terus bertambah. Jadi bukan angin-anginan.

Konsisten dengan pendapat gue, menurut Ajeng keseriusan itu sama dengan komitmen because we'll act in ways that show the people around us our commitment. Kami pun sepakat bahwa perilaku yang dimaksud bukan berarti harus lembur-lembur setiap hari, tapi buat seorang Manager yang meng-assess performance seseorang di akhir tahun, akan kerasa sesuatu yang "worthy of the standards of a profession"... sesuatu yang terasa *klik!*, if you know what I mean.

Keseriusan memang sebuah permainan mental, that's why biasanya benefitnya kita yang akan petik sendiri. Semakin lama kita bekerja, kita akan sadar kalau sering kali pekerjaan itu lebih melibatkan mental rather than manual work - di situlah challengenya keseriusan dan profesionalisme diuji. Dan buat gue dan Ajeng, surprisingly, ternyata orang-orang yang serius sama pekerjaannya masih langka.

0 comments: