Monday, August 28, 2023

"Don't Judge a Book by Its Cover", They Said.


EH EH EH!

Sejak awal tahun lalu, gue kan seneng baca cerita fiksi alias novel lagi ya, trus belakangan ini ada sesuatu yang mau gue ceritain. Gue nyoba untuk tulis blog post ini sejak beberapa minggu lalu, tapi berkali-kali gue revisi karena sebenernya bingung mau ceritainnya gimana dan mulai dari mana.

Flashback dulu ya, kalau gue emang sempet luamaaa banget berhenti baca cerita fiksi. Bahkan blog post terakhir di dalam tag Bookshelf ini aja adalah tentang buku business/insights, karena sejak itu gue memang lebih sering baca buku yang agak "berat" untuk mendukung pekerjaan gue. Bertepatan dengan itu, gue kayaknya ngalamin fase adulting yang gado-gado. You know, semacam pertambahan responsibility, love stories and break-ups, pindah kerjaan, dan banyak pengalaman bitter & sweet lainnya yang bikin gue susah merasa terikat dengan fiksi yang gue baca. Saat gue memaksakan beli novel dan bener-bener maksa baca, gue pun akhirnya DNF (did not finish). Setelah itu gue ngga beli novel dalam waktu yang cukup lama, tepatnya sampai awal 2022.

Waktu itu gue iseng baca sample e-book lewat Kindle di aplikasi iPad. Aiming for cerita yang "receh-receh", gue beli lah novel yang direkomendasiin #BookTok di TikTok atau yang ratingnya bagus di Goodreads. Ternyata, beberapa novel yang gue beli itu cocok dan bisa gue selesaikan semua. Beberapa novel itu bisa bikin gue mendapatkan kembali rasa happy saat baca cerita fiksi. Singkat cerita, udah 1.5 tahun terakhir ini gue seneng baca novel lagi dalam bentuk e-book, khususnya yang bergenre romcom dan mystery (spektrum gue emang item-putih banget, kalau receh ya receh, kalau berat ya sampai cerita yang puzzling abes!). Nah, genre romcom ini lumayan bercabang.. dari yang waras, sampe ehm.. nganu.. itu.. por.. spicy lah (untuk selanjutnya, gue pakai istilah yang sama dengan yang digunakan di social media, yaitu "Spicy Books").

Mon' maap nih gue kan udah GEDE ya, jadi jujur aja gue membaca novel yang di dalamnya adegan spicy itu, dan tinggal skip adegan-adegan itu kalo lagi ngga pengen gue perhatiin. Some of them ngga explicit dan fade-to-black, sehingga kita bisa tetep fokus di ceritanya yang gemes-gemes dan fluffy. Tapi some of them ya vulgar, I must say. Gue inget di awal-awal gue lulus S1 itu udah terbit 50 Shades of Grey dan gue lagi seneng-senengnya ke Kinokuniya di PS, jadi peredaran Spicy Books di Indonesia ini bukan hal baru, sebenernya. Temen gue juga pernah cerita kalau novel st*****an dari dulu tuh juga ada, cuma peredarannya aja sekarang dicontrol.

TAPI, ini nih yang menggelitik, beberapa Spicy Books era sekarang itu beredar dengan cover yang cartoony dan innocent, sampai pada level deceptive (menurut gue). Berhubung gue menggunakan Kindle, gue sempet ngga tau apakah buku itu beredar juga di bookstore di Indonesia (karena saat ke bookstore gue jarang ke bagian fiksi), dan yes, ternyata pas gue check, novel-novel itu beredar. BeredardenganlabelBESTSELLER.

Pada saat gue melihat Spicy BookSSSS tersebut ada di display salah satu bookstore dengan label BEST SELLER ITU, gue langsung mikir: Sebentar, sebentar, ini serius bookstore di sini jual buku pornyow?

I. am. concerned.

!&*!$&!@&!

Ya concerned karena gue udah baca bukunya dan gue sendiri sempet shock kalau buku yang covernya kartun itu ternyata dalemnya sangat-sangat tidak untuk dikonsumsi anak atau remaja di sini. Kan pada saat bookstore meletakkan buku di display dengan label best seller tujuannya adalah untuk summoning reader kan ya? Gitu kan ya? Maksudnya ini summoning SIAPA untuk baca yang pornanita itu HEH?

And punten, apakah itu bener-bener udah jadi best seller di Indonesia atau memang memberikan label tersebut karena bukunya best seller secara global? Kalau buku itu best seller di Indonesia, wow.. just WOW. Gue berdo'a yang baca memang udah cukup umur atau setidaknya udah nikah.

Gue jadi coba inget-inget 10 tahunan lalu saat 50SoG beredar di sini dan banyak diomongin orang-orang.. apa ada label best sellernya? Apakah diletakkan di display? Apakah ada semacam sticker warning 18+ atau gimana? Gue ngga beli sih, tapi siapa yang ngga ngomongin 50SoG pada saat itu kan? Tapi saat itu hampir semua orang tau ceritanya soal seksi-seksi, jadi kalau kita sadar masih kecil atau ngga mau zina otak kayaknya ngga akan beli. Tapi sekarang, adegan-adegan itu tersembunyi di balik cover kartun. (tapitapitapi melulu)

*sigh*

Kalau gue sebagai bookstore manager mungkin gue akan lebih teliti dalam menggali nuansa buku-buku yang masuk untuk dijual (kan banyak reviewnya di social media tuh) dan bikin section khusus "kalangan terbatas". Maybe? Can?

Di luar itu, masih banyak sih novel yang depannya kartun tapi isinya waras (ya kalau ada gitu-gitu dijadiin fade-to-black sama penulisnya jadi tinggalin masalah pada level kecabulan otak lo masing-masing deh ya). Ada yang emang gemes-gemesan karena saling naksir tapi ngga mau ngomong, ada yang suka tapi mau fokus di kerjaan atau masih trauma, ada yang tentang mencoba menyelesaikan masalah keluarganya.. ya kisah kita-kita juga sih sebenernya. So maybe, don't judge a book by its cover? Atau baca dulu reviewnya baik-baik di Goodreads dan TikTok?

Tentu aja ini bukan masalah untuk yang udah cukup umur dan bagi pihak yang mengapresiasi s*x-positivity ya. Tapi gue berempati sama orang tua yang anaknya beranjak dewasa dan gemar membaca (anying weh GB itu buku quiz pas zaman SD nangis bgt T__T). Trendnya memang lagi ke situ dan for years or decades mungkin covers aren't the most helpful to readers trying to judge books' contents.

Udah. Begitu cerita. Kali ini gue publish.

0 comments: