Beberapa minggu lalu, gue nemenin temen gue nungguin rental online di lobby Plasa Senayan. Kita ngobrol-ngobrol santai sambil dia sesekali ngeliatin handphonenya untuk mantau pergerakan mobilnya. Pas kira-kira udah deket, teman gue nelepon drivernya tapi ngga diangkat. Setelah selesai nelepon itu dia ngelihat icon mobilnya sudah menjauh dari PS. Trus ngga lama kemudian drivernya nelepon dan dia bilang dia udah mau muter. Rupanya drivernya mengira dia ngejemput temen gue di Sency.
Marah dong temen gue. Mana saat itu abis hujan dan jalanan macet kan.
Mulailah dia mencak-mencak di telepon. Dan akhirnya mutusin untuk cancel lalu request yang baru. Ke driver yang baru ini, dia langsung telepon dan bilang, "Di PS ya Pak, jangan yang kayak tadi ngira saya di Sency. Salah deh jadinya!"
Di minggu lalu, teman lain ada yang marah sama ojek online saat nunggu dipickup karena ojek itu ngga tau lokasi pastinya dimana. "Kalau ngga tau jalan ngga usah ngojek, Pak!" katanya sambil ngebentak trus cancel order. Gue jadi inget bulan lalu, saat meeting di Bogor, gue dan teman gue order 2 cup ShareTea via ojek online dan abangnya malah beliin 4 (dia ngga ngerti ordernya dan kata teman sesama driver, ini pesennya 4 cup). Waktu itu, bisa tuh teman gue nasihatin abangnya untuk baca order customer daripada dengerin driver lain. Temen gue tetap bayar full dan 2 cup-nya lagi dijual dadakan ke rekan-rekan lain pas meeting.
Somehow saat menggunakan suatu jasa, marah-marah sebagai bentuk complain itu adalah cara yang paling mudah. Mungkin udah banyak orang bossy di Jakarta yang maunya dilayanin tanpa mikir bahwa yang melayani kita itu juga punya kehidupan. Gue jadi miris kalau lihat postingan tentang nasib driver ojek online yang bayar parkir gedung sendiri, suruh nunggu lama tapi ngga dikasih tips, eh ujung-ujungnya disuspend karena dapat bintang atau review jelek!
Gue pun banyak sih dosanya. Tahun lalu gue pergi ke percetakan di Gandaria. Katakanlah gue pengen cetak di kertas chromo tapi adanya art carton. Lalu gue bilang ke CS-nya untuk tetap cetak, dan gue nunggu di sofa tepat di depan CS itu. Flash disk masih gue tinggal di CS-nya.
Hampir satu jam berlalu, cetakan gue ngga jadi-jadi (sambil nunggu gue sibuk lihat belanjaan kosmetik jadi ngga terasa juga hahaha). Pas gue followup, abangnya malah balik nanya, "Jadi ya Mbak? Dikirain ngga.." dengan muka innocentnya. Mulai lah gue ngamuk kayak setan, "Lo pikir gue sinting ngga jadi nyetak trus duduk di depan congor lo gini dari tadi? Lima menit lagi harus jadi!" Dalam kasus itu gue tersinggung berat, karena jelas-jelas gue ada di depan deretan CS dan flash disk gue masih nyantel di komputer dia. Sejak itu, gue ngga pernah balik ke percetakan digital Gandaria itu.
Ada juga kejadian ngeselin di salah satu provider selular. Saat ini gue pakai 2 provider selular, yang satu di handphone yang satu di modem. Khusus untuk di modem, gue pakai yang coveragenya lebih menyeluruh di Indonesia karena harus akomodir kebutuhan korespondensi saat gue biztrip. Sayangnya, walaupun coveragenya lebih OK punya, galeri customer service-nya bapuk banget. Pelayanannya selalu lama dan CS personnya suka ngga knowledgeable.
Gue: Mas, saya mau block nomor saya. Soalnya chipnya kebawa teman saya ke luar negeri, jadi saya ngga pakai sampai beberapa bulan lagi. Mau ganti chip baru atau buat nomor baru aja.
CS: Chipnya bawa ngga?
Gue: Ya ngga lah, kan kebawa teman saya.
CS: Kalau ngeblock chipnya harus dibawa Mbak, karena kita harus lihat tagihan berjalannya berapa.
Gue: Anggap aja ilang deh! Kayaknya kalau ilang lebih gampang ngurusnya.
Gue bingung itu CS logicnya kemana. Lagian aneh aja dia malah nanyain chip daripada KTP gue untuk verifikasi data, kan bisa aja gue penipu. Ditambah gue juga udah kesel karena nunggunya lama di konsep galeri yang aneh itu (jadi kita di foto dan nanti CS yang nyamperin kita ke lounge) pluuuuus ini bukan pertama kalinya gue menghadapi CS person di galeri itu yang unknowledgeable tentang prosedurnya.
Somehow saat menggunakan suatu jasa, marah-marah sebagai bentuk complain itu adalah cara yang paling mudah. Mungkin udah banyak orang bossy di Jakarta yang maunya dilayanin tanpa mikir bahwa yang melayani kita itu juga punya kehidupan. Gue jadi miris kalau lihat postingan tentang nasib driver ojek online yang bayar parkir gedung sendiri, suruh nunggu lama tapi ngga dikasih tips, eh ujung-ujungnya disuspend karena dapat bintang atau review jelek!
Gue pun banyak sih dosanya. Tahun lalu gue pergi ke percetakan di Gandaria. Katakanlah gue pengen cetak di kertas chromo tapi adanya art carton. Lalu gue bilang ke CS-nya untuk tetap cetak, dan gue nunggu di sofa tepat di depan CS itu. Flash disk masih gue tinggal di CS-nya.
Hampir satu jam berlalu, cetakan gue ngga jadi-jadi (sambil nunggu gue sibuk lihat belanjaan kosmetik jadi ngga terasa juga hahaha). Pas gue followup, abangnya malah balik nanya, "Jadi ya Mbak? Dikirain ngga.." dengan muka innocentnya. Mulai lah gue ngamuk kayak setan, "Lo pikir gue sinting ngga jadi nyetak trus duduk di depan congor lo gini dari tadi? Lima menit lagi harus jadi!" Dalam kasus itu gue tersinggung berat, karena jelas-jelas gue ada di depan deretan CS dan flash disk gue masih nyantel di komputer dia. Sejak itu, gue ngga pernah balik ke percetakan digital Gandaria itu.
Ada juga kejadian ngeselin di salah satu provider selular. Saat ini gue pakai 2 provider selular, yang satu di handphone yang satu di modem. Khusus untuk di modem, gue pakai yang coveragenya lebih menyeluruh di Indonesia karena harus akomodir kebutuhan korespondensi saat gue biztrip. Sayangnya, walaupun coveragenya lebih OK punya, galeri customer service-nya bapuk banget. Pelayanannya selalu lama dan CS personnya suka ngga knowledgeable.
Gue: Mas, saya mau block nomor saya. Soalnya chipnya kebawa teman saya ke luar negeri, jadi saya ngga pakai sampai beberapa bulan lagi. Mau ganti chip baru atau buat nomor baru aja.
CS: Chipnya bawa ngga?
Gue: Ya ngga lah, kan kebawa teman saya.
CS: Kalau ngeblock chipnya harus dibawa Mbak, karena kita harus lihat tagihan berjalannya berapa.
Gue: Anggap aja ilang deh! Kayaknya kalau ilang lebih gampang ngurusnya.
Gue bingung itu CS logicnya kemana. Lagian aneh aja dia malah nanyain chip daripada KTP gue untuk verifikasi data, kan bisa aja gue penipu. Ditambah gue juga udah kesel karena nunggunya lama di konsep galeri yang aneh itu (jadi kita di foto dan nanti CS yang nyamperin kita ke lounge) pluuuuus ini bukan pertama kalinya gue menghadapi CS person di galeri itu yang unknowledgeable tentang prosedurnya.
Kalau gue bandingin dengan galeri selular yang gue pakai di handphone gue, so far penilaian gue jauh banget lebih bagus yang di handphone ini. Provider yang satu itu selalu standar dalam menyambut tamu, merequest KTP, verifikasi data customer, baru dia tanyakan keluhan atau request kita.
Kekecewaan kita semua memang berkaitan dengan customer experience yang tidak memuaskan. Artinya kita merasakan gap antara apa yang kita expect (meskipun ngga pernah ngestate ekspektasi kita) dengan apa yang kita dapatkan. Dulu ada jargon "Customer is the KING", tapi gue rasa mengingat service itu tidak akan terjadi tanpa dedikasi dari perusahaan dan pemberi layanan, gue rasa semua pihak harus di-KING-kan.
Ada 3 hal sederhana untuk meng-KING-kan pemberi layanan. Pertama, ucapkan terima kasih, kedua berikan tips, ketiga isi customer feedback form. Kalau yang pertama, biasanya kita udah diajarin sama orang tua. Nah yang kedua ini butuh kebiasaan. Kalau yang ketiga sering diajukan di restoran saat kita mau membayar dan biasanya cukup 1-2 menit aja untuk mengisinya.
KALAU kita ingin dilayani lebih baik, mereka yang melayani kita juga harus di buat happy dong. Hope that makes sense. :)
Photo credit: Creative Market
0 comments:
Post a Comment