Saturday, March 25, 2017

Coffee Talk #4: Sexual Assault.


Belakangan social media dan situs berita rame banget sama beberapa kasus bunuh diri dan fedofilia. Beritanya cepat nyebar dan mendadak banyak yang jadi Psikolog dadakan saat ngerespon kedua kasus itu. Gue sendiri tergolong yang telat tau karena bulan lalu gue memutuskan ngga maenan Path lagi, social media dimana gue biasanya dapetin kabar update dari posting atau #Repath-an orang.

Kasus fedofilia ini sempat bikin gue geram juga karena segitu banyaknya orang yang diperbudak sama hasrat sexual dan tega ngelukain anak kecil. Gue langsung kebayang kasus-kasus fedofilia yang ada di Criminal Minds atau di majalah asing yang suka baca. Penderitaan anak-anaknya itu ditanggung seumur hidup loh! But no, gue ngga pengen jadi Psikolog dadakan, tapi berangkat dari obrolan tentang fedofilia itu, gue dan teman gue akhirnya ngobrolin tentang sexual assault atau sexual harassment experiences - sesuatu yang mungkin kita pernah ngga sengaja alami, namun ngga pernah kita share.

Gue flashback ke jaman SMA dan awal-awal kuliah, dimana gue dan teman-teman suka duduk di pojokan kelas dan cerita bisik-bisik tentang, "Eh, gue pernah loh lihat pas diangkot ada blablabla..." Lalu sesi cerita itu dibumbui dengan celetukan salah satu dari kita yang bertanya tentang istilah-istilah sexual, seperti Fedofil, Exhibitionist, ah banyak lah. Di situlah biasanya kita belajar tentang istilah-istilah yang ngga diajarkan oleh orang tua dan guru.

Gue ingat ada seorang teman yang cerita kalau dia pernah ngeliat bapak-bapak exhibitionist di dalam angkot. Ada juga teman yang pernah "dipegang" pas di dalam bus. Ada juga yang punya tetangga laki-laki yang selalu kelihatan sama anak-anak SD di dekat rumahnya di jam pulang sekolah. Lalu biasanya si anu akan mulai bikin kesimpulan dan teori-teori layaknya Psikolog, dan teman-teman lainnya (termasuk gue) mendengarkan dengan kagum (plus berusaha keras untuk mengingat terminologinya supaya bisa diceritain ke teman lain dan gantian jadi Psikolog dadakan).

Balik lagi ke coffee talk sore itu, sexual harassment ternyata masih "ngikutin" kita walaupun kita udah hampir di early 30s. Contohnya di kantor, atau yang biasanya dikenal sebagai Workplace Harassment. Workplace Harassment ini bentuknya macam-macam, mungkin yang paling rendah itu tingkat verbal ya? Hampir 7 tahun lalu, saat gue lagi di kantor client, gue pernah digodain mas-mas level staff gitu. Saat itu lagi heboh video Ari*l P*t*rpan, dan dua orang klien mulai ngomongin sesuatu yang berbau sexual ke gue dan teman gue yang lagi ngumpulin data. Gue ngga ngeladenin mereka sama sekali, tapi sejak itu gue ngga pernah baik-baik kalau minta data sama mereka. Kalau ditanya Senior atau Manager gue kenapa gue keliatan judes ke mereka, gue jawab simple aja kalau dua mas-mas itu ngga berlaku profesional selama gue fieldwork.

Teman gue menambahkan, kalau sexual harassment ngga cuma ngikutin kita ke workplace, tetapi ngikutin kita juga ke tempat leissure. Dia nanya sama gue, "Lo pernah ke tempat refleksi kan, May?" Bukannya ngejawab, gue malah langsung balik nanya, "Maksud lo yang plus-plus?"

Ternyata maksud teman gue adalah tempat refleksi yang di dalam mall. Gue langsung mikir dengan cepat, gimana bisa ya di tempat refleksi dalam mall yang pijatannya standar bisa terjadi sexual harassment? Lagi pula berdasarkan pengalaman gue, dipijatnya kan ramai-ramai dalam satu ruangan. Walaupun remang dan ada beberapa yang bertirai, tapi ngga mungkin aja ada kesempatan melakukan sexual harassment.

Teman gue ngelanjutin ceritanya, sebagai orang yang hampir seminggu sekali nyambangin teman refleksi sambil nungguin keponakannya main di mall, dia bisa ngerasain mana yang pijatannya standar dan mana yang ada improvisasi. Dia cerita ke gue, kalau dia lebih seneng dipijat laki-laki karena tenaganya lebih powerful untuk badannya yang lumayan tebel. Suatu hari dia dapat therapist wanita dan pijitannya ngga nampol. So, one day, saat booking tempat refleksi dalam mall yang baru pertama kali dia kunjungin, dia bilang di reception, "Therapistnya yang laki-laki ya, Mbak."

Ternyata, request dia dianggap "request" oleh receptionistnya. Awalnya pijitannya enak dan standar sampai menjelang 15 menit terakhir, therapist itu menurunkan selimut handuk di atas badannya dan pijat punggung dari bawah baju! Pertama-tama dia mikir mungkin standar di mall ini beda, tapi ngga lama kemudian dia nyadarin nyadarin bahwa gerakan pijatan ini... aneh.

Dia bilang ke gue, "Gue tidak membenarkan sex pranikah ya, tapi kalau seorang cewe ngga pernah mengalami sexual activities sama sekali, dia ngga bakal bisa detect bahwa gerakan pijit itu adalah gerakan yang merangsang!" Pastinya ada aja yang bakalan bisa tegas, tapi mungkin memang ada juga wanita polos yang clueless or first-timer menanggap itu adalah pijatan yang wajar.

Sementara gue masih shock gimana hal itu bisa kejadian secara tempatnya ngga memungkinkan banget. Pastinya kan ada kongkalikong. Lalu kalau gue ngalamin kayak gitu, apakah gue berani untuk bilang tidak atau memberontak sementara di kiri-kanan gue mungkin lagi merem-merem menikmati kakinya dipijat? Ih, gimana kalau si mamang mijitin punggung sambil lirik-lirik "puas" dengan therapist di sampingnya? :(

"Gue menggolongkan itu sebagai sexual harassment. Setelah ninggalin tempat itu, gue jemput keponakan gue dan ngga bisa maafin diri gue yang ngga bisa bilang jangan atau tidak dua kali cuma gara-gara ngga enak sama orang lain. Dengan diam, orang lain ngga akan tau kalau he's touching the skin underneath my blouse."

I feel bad for her, tapi at the same time, ini pelajaran yang berharga juga buat gue. Selalu request therapist perempuan! Dan jangan pernah ketiduran saat dipijat! Ngeri juga untuk tau bahwa sexual assault bisa terjadi dimana aja dan kepada siapa aja. Things happen out there so it's critical that we know how to protect ourselves.


0 comments: