Thursday, February 15, 2018

How Does It Feel to Travel Alone (to Foreign Country)?



Solo trip (alias jalan-jalan long destination sendirian) bukan ajang untuk menemukan jati diri. Meskipun gue akui dalam solo trip kita akan menemukan fakta-fakta menarik tentang diri kita yang sebelumnya ngga kita sadarin. Contohnya: apakah kita tipe orang yang antisipatif dan suka memikirkan risiko, bagaimana kita menangani masalah, secepat apa kita membuat keputusan, semalas apa diri kita, dan lain-lain.

Sesiap apapun kita dalam melakukan solo trip, datang ke wilayah yang belum kita kenal itu memperbesar zona uncertainty. Gue bukannya mau nakut-nakutin ya, tapi solo trip itu menyadari betapa vulnerable, introvert, dan randomnya diri gue. Gue tidak menemukan jati diri, tapi gue mengenal diri gue lebih dalam lagi.

Trus apakah pulang-pulang dari solo trip kita akan menjadi orang yang "baru"? (Pertanyaan dilontarkan oleh orang-orang yang sering mencari jawaban dari Google atau denger temennya yang sangat filosofis).

Hidup terus berjalan dan bergulir, and I must say, selama rutinitas masih gitu-gitu aja, kita akan tetap jadi orang lama. Kalau mau jadi orang baru, menurut gue yang harus diubah adalah rutinitas dan langkah kita mencapai goalsnya, bukan dengan solo trip. Solo trip itu ngga semuanya seperti Eat, Pray, Love!

Bagi gue solo trip adalah mindful dalam berkunjung ke negara lain dan experiencing the lifestyle. Trus kenapa milih sendirian? Karena susah untuk cari teman yang punya waktu sama, budget sama, travel style sama. Kalau kita pergi sendiri, segala keputusan ada di kita dan di boss kita untuk approval cutinya. Ngga ada yang perlu dibingungin soal mau kapan, pake pesawat apa, nginep di hotel atau Airbnb.. dan tentunya, ngga perlu kompromi mau ngapain dan kemana di destinasi kita. Am I being selfish? No. Gue hanya orang yang ingin istirahat sambil berkunjung ke negara lain.

Beberapa kali jalanin solo trip, gue selalu mendapatkan experience yang menyenangkan dan bawa pulang oleh-oleh berupa, "Eh, gue nemuin tempat bagus! Lo kalo ke sana, pergi ke sini deh. Naik ini, turun di sini. Di situ tuh ada blablabla!" Soalnya gue emang serandom itu. Jalan kaki terus sampai akhirnya nemuin tempat yang menurut gue menarik dan mungkin tempat tersebut bukan destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisata lain. Win!

Gue belum pernah bawa pulang cerita tentang self-discovery yang bikin gue merekomendasikan solo trip ke teman-teman gue. Kalaupun ada, gue ngga mau buang-buang tenaga untuk menghasut orang supaya mau solo trip. Tapi gue selalu bilang ke teman-teman gue, sempatkanlah untuk traveling. Otak kita itu seperti air panas dalam tungku di atas api. Setiap hari apinya nyala dan mendidih. Traveling, bagi gue, adalah salah satu cara untuk mengecilkan apinya. Walaupun cuma sesaat, efeknya signifikan untuk spirit kita. Tau kenapa mobil punya rem? Rem mobil bukan diciptakan untuk menghindari kecelakaan, tetapi supaya kita bisa percaya diri untuk ngegas lebih kenceng.

So, begitu juga dengan traveling. Bukan diciptakan untuk escape. Tapi untuk menjaga spirit dan semangat kita sehari-hari. Tentang kita mau travel dalam solo atau group, itu urusan beda.

Saat solo trip, kita akan tau siapa temen yang paling kita kangenin. Atau siapa temen yang langsung kita kirimin foto lokasi shooting Harry Potter di Oxford via WhatsApp. Bisa juga, kita jadi tau siapa temen yang paling sering kita gangguin kalau kita lagi kesepian.. yes, gue ngga menampik bahwa perasaan kesepian itu kadang ada saat solo trip. Terutama buat gue yang kesehariannya ngomong dan tiba-tiba sekian belas hari gue nyaris ngga memulai conversation verbal kepada siapapun.

Again, gue ngga menjamin kita bisa menemukan jati diri kita dengan solo trip. Tapi banyak hal dari solo trip yang akan membantu kita untuk mengenal diri kita lebih dalam lagi.


0 comments: