Thursday, April 18, 2019

Soal Pemilu 2019 -- Blog Post di Jam Kerja.


Gue nulis ini di jam kerja. Well, sebenarnya jam istirahat yang agak telat. Gue bawa laptop ke kafetaria gedung -niatnya- biar bisa kerja sambil makan siang. Tapi ternyata ibu-ibu di meja seberang (kayaknya bukan karyawan tenant gedung) lagi ngomongin pemilu kemarin. Lalu gue merasa super terganggu dengan topik pembahasannya.

Pemilu ini memang selalu sensitif dan merupakan topik yang gue hindari saat ngobrol kecuali gue ketemu orang yang punya pilihan presiden yang sama dengan gue. Kalau ditanya, gue selalu menjawab bahwa gue udah menentukan pilihan, tapi gue menghindari untuk memulai pembicaraan tentang pilpres ini dan menyebut siapa pilihan gue. Walaupun sebenarnya sih.. ketebak kok gue memilih siapa.

17 April 2019 kemarin adalah hari yang gue tunggu-tunggu karena gue pengen seluruh pembicaraan, timeline, feeds, atau apapun namanya kembali menjadi normal. Kalau ngga bisa kembali normal, minimal kembali tolerable dan bisa diaccept sama kuping dan logika gue. Gue pengen unmute account teman-teman gue yang cenderung provokatif atau banyak kebenciannya. Gue kangen di saat semua pembicaraan adalah hal-hal ringan dan entertaining, ketimbang pembicaraan berat sebelah yang terkadang didukung oleh ayat/pendapat religius.

Tapi tampaknya hal itu ngga akan terjadi dalam waktu dekat. Dan gue mesti legowo dengan situasi ini, soalnya gue sadari keadaan ini adalah risiko dari kebebasan berpendapat - sebuah privilege negara demokratis.

Gue inget beberapa waktu lalu percakapan gue dengan seorang Golputer Gen Z. Agak nyesel sih gue "kenceng" sama dia, abisnya kesel hahaha.

Golputer Gen Z: Kak, presiden pilih siapa?
Gue: Ha, rahasia!
Golputer Gen Z: Aku golput kak, sebagai bentuk kekecewaan dengan sistem pemilu sekarang yang membuat kandidat hanya dua.
Gue (sebagai Millennial *rada* Senior merasa harus mengedukasi): Yang menuntut adanya pemilu presiden langsung tu siapa?
Golputer Gen Z: Siapa kak?
Gue: Rakyat lah. Lo mau presiden dipilih DPR lagi?
Golputer Gen Z: Ye sih kak tap...
Gue: Ngga usah sok iye deh lu.

Pembicaraan agak panjang dan dia sebenarnya melunak, terutama setelah gue kesel banget dan sempat ke luar dari mulut gue, "Lo masih zigot sih pas itu (refromasi 1997-1998)". Intinya sih.. gue naik darah karena menyayangkan, dia yang seharusnya nyoblos pertama kali tahun ini, memilih untuk ngga mengambil haknya dan ngga mengambil kesempatan untuk voting.

Tapi terakhirnya damai kok, gue ngga mencampuri "pilihan" dia. Gue sampaikan bahwa gue hanya menyayangkan dia merasa dirinya korban politik padahal ngalamin quarter-life crisis aja masih 3-4 tahun lagi.

Pada akhirnya demokrasi memang soal menghargai pendapat dan pilihan orang lain, dan juga menerima alasan kenapa orang lain berbeda pilihan sama kita. Justru kalau ujian ini bisa dilewatin harusnya kita jadi individu-individu yang lebih toleran lagi.

I hope the elected leaders, parliament, and house of representative members will lead our country wholeheartedly and their major program and work address to the society from all around Indonesia.

Now, back to work.

0 comments: