Monday, March 16, 2020

Week 11 of #52WeeksofMisswhadevr | Istanbul - Bagian Satu.


Cerita dan refleksi di minggu ke sebelas ini agak nyampur dengan minggu ke sepuluh karena gue alami saat solo travel ke Istanbul, tapi most of the feeling gue rasain di minggu ini.

Saat gue ke Istanbul, gue bawa journal gue dan rajin nulis di sana. Dalam sehari gue bisa 4 jam duduk di coffee shop dan nulisin (plus gue bikin konsep untuk novel kedua gue di journal yang sama). Sesampainya di sini, gue memutuskan untuk menulis di journal baru, yang akhirnya menyisakan 10 lembar ngga terisi di journal yang gue bawa itu.

Kenapa? Karena gue merasa sakit hati. Nulis di journal yang sama takut bikin gue ngga bisa move on.

Setelah balik ke Jakarta, gue mencoba untuk menggali dari mana perasaan sakit hati ini muncul. Kok rasanya menganggu. Kok bisa bikin gue sesek sampe pengen nangis. Bahkan gue ngga bisa mengidentifikasi perasaan itu dengan sebuah nama. Bukan sekedar rasa kangen dengan Istanbul, bukan sekedar masih pengen liburan, pokoknya aneh. Seperti gue bilang di blog post sebelumnya, my mind is wounded.

Siang ini akhirnya ketemu jawabannya.

Di sana, meskipun 90% waktu gue sendirian, gue ketemu dengan orang-orang membuat gue grounded hanya dengan satu sifat yang ngga (atau jarang) dimiliki oleh lingkungan gue di sini: Active listening. Eh, bukan berarti di sana gue curhat-curhat trus nangis bombay ke sembarang orang loh. Cuma conversation biasa, rambling, ngomongin COVID-19, tapi gue merasa koneksi itu lah yang udah lama gue butuhkan. Gue dan lawan bicara secara sadar sedang terlibat percakapan, empati terbangun dengan baik, sehingga tanya jawab simple seperti "How's your day going?" aja bisa punya jawaban yang bermakna. Ngga basa-basi sama sekali.

Akhirnya gue bisa mengupas pelan-pelan, bahwa salah satu sumber kegelisahan gue beberapa bulan ini adalah persepsi bahwa gue akan didikte oleh orang lain selamanya. Didikte oleh atasan, klien, bahkan oleh kondisi. Padahal gue punya keinginan besar setiap percakapan dan diskusi itu mindful. Gue selalu berusaha untuk bertanya dengan smart, menjawab dengan empati, tapi gue ngga merasa mendapatkan feedback yang layak. Dan itu menjadi sumber kegelisahan gue ketika gue harus kembali ke kantor.

Begitu pun dengan lingkungan main gue. Gue dan teman-teman yang semula sering haha-hihi, sekarang sibuk berdebat atau saling beropini mengenai suatu hal yang lagi happening. Kayaknya makin banyak tau, makin hebat. Percakapan penuh dengan "Seharusnya...", "Menurut gue...", "Oh, kalau gue...", "Dulu gue juga pernah...", "Kata si anu..." Padahal apa gunanya dicap paling hebat dalam conversation ini? Ngga ada.. Ini cuma obrolan warung kopi yang dipindahin ke iMessage atau WhatsApp.

Sekarang gue nyadarin, obrolan-obrolan singkat dengan strangers atau pun orang yang baru gue kenal di Istanbul penuh dengan empati dan saat mendengarkan kita benar-benar active listening (thank God gue belajar untuk active listening saat kuliah Psikologi). Ada sisipan-sisipan pujian sebagai respon ke lawan bicara, ada perasaan yang ditanyakan, dan ada eye contact selama percakapan berlangsung.

Di sana, gue sempat tiga kali berkunjung ke satu toko di dekat Blue Mosque karena lokasinya dekat dengan hostel tempat gue nginap. Kunjungan pertama, gue beli agenda untuk journaling. Kunjungan ke dua, gue ngelihat pajangan kucing dan gue beli 2 untuk nyokap dan bibi gue. Kunjungan ketiga, entah kenapa gue merasa ingin pamit sama bapak-bapak yang jualan di sana, soalnya setiap ketemu kita selalu punya convo singkat. Saat gue bilang gue akan kembali ke Jakarta besok malam, dia bilang, "Come in!"

Ternyata, Bapak itu merasa gue membayar lebih saat beli pajangan kucing beberapa hari lalu di kunjungan kedua. Dan gue dikasih lagi 1 pajangan lagi, gratis!! Padahal pembayaran yang kelebihan itu adalah kesalahan gue. "I hope to see you again.", kata Bapaknya sambil senyum. Kami jabat tangan. Besoknya pun saat gue menggerek koper ke bus, kita papasan lagi di depan toko. "Safe flight to Jakarta, I hope we can meet again.", katanya lagi. Senyumnya ngga bisa gue lupain.

Selain Bapak di toko itu, receptionist yang juga owner hostel juga meninggalkan kesan yang baik untuk gue. Sejak menyambut gue saat check in, gue merasa energinya positif banget. Penampilannya cosmopolitan dan salah satu percakapan pertama kita saat check in, "You are thirty-two? You look so young! I'm 26 and Friday is my birthday!". Setiap hari dia selalu nyapa dan bisa memulai percakapan yang membuat gue dan tamu lainnya merasa diterima dan nyaman di hostel. Emang beda sih rasanya saat lo running business dengan membayar orang lain to run your business.

Sekarang duduk di depan laptop nulisin ini semua, ngga nyangka kejadian ini belum ada seminggu. Time travel ke bulan September waktu pesan tiket ke Istanbul, gue sengaja cuma pesan untuk satu minggu karena berharap akan ada lain kali untuk Istanbul. And I am so glad I made that decision.. because I will be back someday.

0 comments: