Sunday, August 23, 2020

Cyberbullying Lintas Dekade.




Setiap kali ada kejadian cyberbullying, gue selalu inget saat ada cyberbullying di zaman kejayaan blog waktu tahun 2000-an. Saat itu, blog jadi wadah orang cerita tentang kegiatan sehari-harinya, tapi di waktu yang bersamaan juga jadi jendela orang lain nengok ke dalam kehidupan empunya blog.

Gue merasa blog di zaman dulu itu kebanyakan jujur apa adanya. Semacam diary yang kita pindahin aja ke blog. Lalu biasanya komentar akan spesifik ke pembahasan di setiap blognya. Cuma, ngga jarang pembaca pada bisa ngambil kesimpulan mengenai hidup seseorang setelah membaca/ikutin keseluruhan blog. Jadi artinya impresi itu bisa diambil dari blog. Padahal blog jarang ada fotonya loh.. hampir semua tulisan. Kebayang gede banget effortnya untuk bullying blogger karena basically kita mesti baca dulu blog post yang.... ya panjang!

Tapi cyberbullying tetap terjadi. Entah karena pembaca ada yang sirik, karena ada seseorang yang pengen jadi SJW, ataupun karena basically penulisnya udah nyebelin aja. Bullies ini tinggal bikin email baru untuk sembunyiin identitasnya, trus tulis comment negatif deh di blog post tertentu. Sejujurnya dari dulu gue suka tuh kalau ada yang ribut-ribut trus terpecah jadi 2 kubu.. seru banget bacain comment-commentnya.

Damagenya cyberbullying ini besar juga loh. Walaupun umumnya blogger saat itu usianya udah 25-an, banyak juga yang ended up berhenti blogging atau membuat blognya jadi private (jadi yang punya akses adalah yang sudah diinvite/didaftarkan aja). Ya gimana sih.. kita nulis kan maksudnya untuk mengentertain, sharing, atau bahkan isi waktu kosong ya. Lalu satu-dua orang dateng ngomentarin kehidupan kita seolah-olah elo tau semuanya.. rasanya pasti kaget.

Cyberbullying yang terjadi saat ini ngga jauh-jauh dari yang terjadi zaman dulu. Bedanya, bentuk social medianya lebih instant dan akses ke dalam sana lebih mudah. Somehow rentang bullying ini menjadi lebih besar sekarang. Setiap usia, profesi, apapun jenis content yang dimiliki, bisa aja seseorang kena bullying dari "penonton-penonton jahat tapi ghain" yang.. effortnya gitu-gitu doang: tinggal bikin account baru untuk sembunyiin identitasnya - ketik - post.

Tapi buat gue, damage cyberbullying sekarang jauh berbeda. Kalau zaman blogging dulu, kita yang menulis rata-rata udah dewasa sehingga kita bisa tanggung jawab dengan apa yang kita tulis. Kalaupun kita ngga bisa handle bullying itu, tutup blognya pun juga mudah. Tapi sekarang kan anak-anak atau teenagers juga bisa kena cyberbullying. Dengan problem solving skill yang belum terdevelop, gimana anak-anak bisa menyelesaikan masalah yang mereka ngga tau bisa timbul hanya karena 1 atau 2 post?

Mereka bahkan belum tau bagaimana cara memanage content. Belum tau mana yang rahasia dan bisa dishare ke public. Mereka selalu tergoda untuk mendokumentasikan sesuatu dan cuma mikir, "Post ah..." See? Masih sulit untuk memahami batasan yang mana privacy dan yang mana konsumsi publik, karena saat mereka post dan mendapatkan likes, mereka akan cenderung punya keinginan untuk membuat orang senang.

Empat tahun lalu, gue menulis 7 blog post tentang Social Networking [link] dan sekarang setelah usia gue melewati 30 kayaknya pengen banget nulis tentang hal yang sama tapi ditujukan untuk orang tua. Hey, banyak alasan yang mengharuskan orang tua mengawasi anak-anak main social media, terlebih kalau anaknya jadi selebriti. Jika sesuatu terjadi, apa langkah yang diambil orang tua untuk memulihkan keadaan anaknya(?) karena yang jelas, Bullies sulit untuk dibungkam apalagi dihentikan. Lu mau jerit-jerit pasang Instastory, klarifikasi ina-itu, Bullies akan timbul lagi dan jejak digital akan terus terekam. Dan jangan lupa loh.. akan ada haters yang dengan senang hati menunggangi Bullies untuk menyalurkan kebenciannya yang terpendam sejak lama!

0 comments: