Selasa, 4 Agustus 2020
Gue lagi santai ngerjain kerjaan di rumah pas dapet kabar bahwa 4 orang di salah satu tenant di gedung kantor positif terinfeksi COVID-19. Gue langsung mual dan muntah-muntah karena terakhir gue ke kantor (Kamis, 23 Juli 2020), gue papasan sama 8 orang jalan ke luar lift, salah satunya bilang, "Peraturan dibuat kan untuk dilanggar!"
I know that peraturan dibuat untuk dilanggar ya kalo lo anak bangor ingusan yang masih 1 SD, ompong, yang baru bisa copy omongan orang dewasa yang irresponsible. Trus temen nanya, "Apa?", dia jawab lagi, mengulangi statement goblok dia, "Peraturan dibuat kan untuk dilanggar!"
Aselikkk gue pengen marah banget rasanya. Gue hubungi GA di kantor gue untuk ngobrol sama building management supaya orang kayak gitu ditindak aja. Sejak itu, gue bener ngga pernah ke kantor (biasanya seminggu 1-2x). Dua belas hari kemudian, gue denger ada 4 orang di gedung yang positive dengan status tanpa gejala (OTG). Mual dong gue....
Sejak awal pandemi ini, kantor gue memutuskan untuk full WFH dengan segala konsekuensinya. Pas Jakarta mulai PSBB Transisi, gue menyiapkan prosedur dan sistem untuk pembukaan kantor. Gue bagi jadi 3 fase, toolsnya ini, prosedurnya itu, dan syaratnya kalau mau kerja di kantor adalah anu. Rapi. Tapi ngga pernah kepikiran akan terpakai.
Selesai muntah-muntah, gue langsung jalanin prosedur tracing. Gue estimasi timeline Si OTG, all staff self-assessment, dan gue tracing semuanya satu per satu, lalu gue kelompokin mereka ke dalam high risk, medium risk, dan low risk.
Malamnya, gue, manajemen, dan semua manager meeting. Kita sepakat tutup kantor dulu dan dengan pengetahuan kita yang limited atas transmisi virus di gedung ini..... maka semua diminta untuk test dengan biaya dari kantor.
Iya, parno banget karena (sekali lagi) kita learning about the virus and dealing with it at the same time. Honestly.. pengetahuan kita mendekati clueless dan yang diprioritaskan adalah kesehatan dan keselamatan semua karyawan.
8 Agustus 2020
Pagi tadi gue bangun sedikit ngezombie. Belum juga minum air putih, nyokap gue udah bilang kalau tetangga gue infected. Kemungkinan infected saat touring Harley ke Palembang. TOLOL!
Maaf, tapi.. Apakah kalau ngga touring Anda akan mati?
Menjadi orang parnoan dan (merasa) tau cara tracingnya, gue bikin timeline dan minta nyokap gue untuk menggali informasi lebih banyak. Hasilnya, beberapa orang penjaga cluster (komplex rumah yg cuma 7 rumah ini) atau ART mesti kita test juga. Segera! Oh, juga orang yang datang berkunjung ke rumah Mr. Infected dalam window infeksi atau inkubasinya.
Apakah heboh? Ngga seheboh waktu ada issue OTG di gedung, tapi memanage kehidupan bertetangga itu sulit kalau ngga kompak. Apalagi bokap gue yang biasanya dianggap leader di cluster ini udah ngga ada, dan kayaknya belum ada orang dengan leadership sekuat bokap gue di sini. So, nyokap gue langsung kompakan sama ibu-ibu yang lain, dan gue minta mbak gue untuk disinfektan pager, gembok, pos satpam dengan disinfektan paling "keras" yang gue punya.
Beberapa jam berlalu.. gue mencret.
Lalu impulsif beli berbotol-botol disinfektan lagi.
Dua kali ngehandle positive COVID-19 dalam seminggu, ya sekaco itu kepala gue.
Hikmahnya dari kejadian di cluster rumah gue adalah opportunity untuk menimbulkan sense of crisis ke ART dan tenaga yang saat ini masih suka kelayapan kalau COVID-19 itu lebih dekat dari yang bayangin.
Some of us are trying to live our best life and be the best person we can be while there's a LITERAL GLOBAL FUCKING PANDEMIC happening.. If you think you can mati kalau ngga dine in at resto for a while, you can bokek kalau ngga CFD, you can dikucilin kalau ngga touring Harley, or you not cool kalau ngga melewati max capacity in elevator I hate you lah!
0 comments:
Post a Comment