Monday, September 22, 2014

Enjoying Bali: Running and racing during "that time of the month".

For every endometriosis-related blog entry, I decided to write it in Bahasa Indonesia in order to give readers most accurate information. Please click or follow this lable [link] for more posts like this.



Sekitar 2 bulan lalu saya lagi eneg sama kerjaan di kantor (tapi udah lupa pastinya karena apa), lalu iseng daftar 10K di Bali Marathon sekalian liburan. Padahal saya yakin banget badan dan stamina belum fully recovered dari operasi endometriosis bulan Mei lalu. Lama yes, recoverynya? Walaupun habis Lebaran kemarin saya sempat lari HM, saya ngga mau terlalu ngotot di Bali, karena kalau tiba-tiba sakit di tengah jalan, saat itu saya sedang jauh dari rumah di Jakarta. So, cukup slow pace sambil nikmatin lingkungan Bali.

Seminggu sebelum berangkat, saya sempet nyesel sih, kenapa ngga ambil half-marathon aja (21K). Toh juga COT (cut-off timenya) kan 7 jam, jadi it'd be okay jika mau selow-selow aja. Eh ngga taunya 2 hari sebelum berangkat, saya mens! What's worse, pas D-day-nya di tanggal 14 September itu saya lagi "banyak-banyaknya". Mungkin juga itu efek suntik Tapros sehari sebelumnya.

Wave 10K start pukul 6 WITA; 60 menit setelah wave full marathon dan 15 menit setelah wave wheelchair 5K. Terharu banget ngelihat semangatnya para peserta wheelchair! Karena saya ambil posisi paling belakang, di jarak 1.100 meter saya ketemu sama peserta-peserta wheelchair yang lagi berjalan balik ke garis finish. Di situ saya lihat cuma 2 beberapa petugas aja yang bantu dorong saat tanjakan. Jadilah kita beberapa peserta 10K ikutan balik arah buat bantuin dorongin wheelchair pas lagi tanjakan. Unforgettable moment! Saya terharu pas lihat tiba-tiba seorang peserta 10K bersujud untuk bersyukur dia diberkahi 2 kaki yang dapat berfungsi sehingga bisa lari dengan kakinya. Dia bilang, "Gue gemeter pas dorongin mereka kayak gue baru nemuin arti gue berlari itu apa."

Anyway, medannya rute 10K banyak melewati jalan kecil di dalam pedesaan. Saya sempet lihat matahari terbit dari belakang Pura di sekitar KM 3. Pengen motret pemandangannya, tapi saat itu masih ada penumpukan peserta di belakang saya yang bikin saya jadi takut menghalangi jalan mereka jika berhenti untuk motret (sekarang nyesel!). Karena ngga pengen ngos-ngosan dan pengen finish cantik, saya keep pace saya seperti jogging di angka 9:30 mulai KM 3 itu.

Di Bali, ngga ada tanjakan maut dan turunan curam kayak Bromo Marathon. Elevasinya juga masih dalam batas toleransi. Jadi singkat kata, tanjakannya ngga tinggi.. standar.. tapi ngga selesai-selesai :))

Di sepanjang rute 10K ada 3 toilet dan itu bukan toilet darurat atau toilet portable, tapi toilet umum seperti toilet di warung. And guess what, saya menyambangi 2 dari 3 toilet, keduanya untuk ganti pads (thank you, God, toiletnya di WARUNG!)! Yes, saya segitu "bocor"-nya di race day sampai harus ganti dua kali! Yang lucu, pas pertama kali saya masuk toilet (cukup lama di dalam), keluar dari situ rombongan 10K udah pada ilang! I was like, "Heh, segitu lamanya ya gue di dalem?" Ada ibu-ibu yang bilang, "Udah pada lari jauh, Mbak! Ayo dikejar!" Hahaha.. Mungkin dia ngeliat muka bingung saya.

Sisa kilometernya saya habiskan dengan menyapa anak-anak sekolah yang jadi "cheerleaders", foto "selfie" bareng sama mereka dan kenalan. Mereka paling suka high five pelari-pelarinya dan semangat banget setiap diajak selfie. Lucu banget iniiiii anak-anak Bali!!!

Akhirnya saya "finish cantik". Dengan lari a la Tuan Putri Mengejar Cintanya Yang Hilang, ternyata 90 menit bisa ngebakar sekitar 440 kalori - dan itu memungkinkan untuk finish dengan senyum, walaupun kondisi badan kurang fit :D

Berolah raga dalam kondisi mens emang ngga begitu asik. Kalau boleh memilih, saya mendingan ngga olah raga selama mens soalnya mendadak badan suka automatically goes into "weird" mode and stops working like usual. Supaya tetap fit, dokter saya menyarankan untuk minum vitamin dari seminggu sebelum mens dan ketika mens sebagai booster. Beliau menyarankan untuk meminum Sangobion satu kali sehari atau sesuai dengan kebutuhan.

Yang menjadi permasalahan buat saya justru hal lain: yaitu gesekan pads pada selangkangan! Habis finish 10K ini langsung berasa perih karena lecet-lecet loh, padahal sebelumnya sudah saya olesi Egyptian Magic Cream. Mungkin ada baiknya pakai tampon atau dengan cara lain supaya ngga nembus tetapi ngga menimbulkan lecet. Mungkin pakai non-wings tidak akan menyebabkan lecet ya?

Bagaimanapun juga, lari akhirnya jadi favoritnya Endometriosis Warriors. Kalau kita search hashtag #endometriosis di Instagram, akan keluar beberapa foto perempuan lagi olah raga lari. Efeknya apa, saya sendiri belum tau - tapi itu cukup membuktikan bahwa endometriosis yang sering bikin "ulah" seperti flare, bloating, dan cramps ini, bukan alasan untuk ngga bergerak.

Buat yang memang sudah suka running, jangan pernah lupa untuk core training. Pengalaman saya menyimpulkan bahwa core training akan berkontribusi lumayan bear saat race dalam kondisi mens begini. Di KM 7, lower abdomen saya mulai sakit, dan I believe, saya akan tumbang jika core saya lemah. So I have learned that your deep, interior muscles of the pelvis, back and lower abdomen ARE important to running (because those tiny muscles, the multifidy, the deep rotators, and other many little muscles of the pelvic floor are a big deal!). Untuk melatih lower abdomen saya, saya senang melakukan ab pulse up dan latihan TRX.

Yuk, jangan menyerah untuk jadi semakin sehat!

♥, Me.

1 comments:

-Ow- said...

Keren banget mbak!! Ku baru nemu blognya nih. Sesama pejuang endometriosis.