Saturday, January 12, 2019

Singapore: Why I Keep Coming Back.


Gue berharap punya penjelasan yang bagus kenapa gue sering pergi ke Singapore. Atau punya cerita yang bagus setiap kali gue pulang dari short gateway ke sana. Atau punya jawaban ketika ada orang nanya, "Gimana awalnya lo bisa sering ke sana? Lo pengen banget ya tinggal di sana? Apa sih yang bikin lo suka Singapore padahal di sana mahal-mahal banget?" (FYI, pertama kali gue ke sana pas masih usia 3 tahunan, tapi sejak tahun 2009 gue ke sana 1-3 kali tiap tahun).

Truth is....

Setiap kali gue ke sana, gue ngga punya plan mau ngapain aja. Gue ngga punya wishlist mengenai barang-barang yang gue pengen beli. Gue ngga bawa baju-baju lucu untuk foto.

Normalnya gue di sana selama 4 hari 3 malam. Selama itu rutinitas gue seperti orang lagi jalanin hari libur aja. Bangun, sarapan, jalan-jalan ke luar "rumah", pulang malam, tidur, repeat. Gue biasanya cari tempat untuk ngopi, taman untuk baca buku, trus ngadem ke mall. Namanya juga short gateway, dan seperti hari-hari normal gue, short gateway gue pun termasuk dalam kategori yang "mundane".

Kalau ada barang lucu dan naksir banget ya gue beli. Seinget gue, barang paling mahal yang pernah gue belanjain di sana.. mungkin jaket seharga $24 gitu (waktu itu kursnya masih Rp 7600-an). Gue bisa ke Singapore hanya dengan bawa $100 untuk makan, transport, dan jajan selama 4 hari. Nginep pun di hostel. Again, namanya juga short gateway ya... kalau mau sering, harus sederhana biar ngga boros.

Ngga usah lah nitip-nitip ke gue. Malahan ngga akan gue beliin. Cuma keluarga deket aja yang biasanya gue beliin karena mereka udah tau mau nitip apa dan berapa harganya. Oh ya, kadang gue bawa sesuatu untuk orang kantor kalau ketahuan gue "mudik". Biasa.. coklat atau permen aja.

Salah satu temen gue bilang, "It's a very bad choice sih, May.. Di sana apa-apa mahal, makan aja lo mikir. Mending lo short gateway ke Bali kayak gue. Tiket lebih mahal dikit tapi makanan dan jajan sama aja kayak di Jakarta, lo ngga perlu mikir untuk keluarin duitnya." He was right, but Singapore has something that Bali doesn't offer.

Gue sangat suka jalan kaki di kota. Pakai sendal jepit atau sneakers, celana pendek atau panjang, dandan atau ngga, pokoknya sesuai mood gue. Kalau gue melakukan itu di sana, gue ngga pernah merasa risih karena ngga ada orang yang melihat gue aneh jalan-jalan pakai sendal jepit. Di Jakarta gue udah diliatin (baca: judge) kayak homeless people.

Di sana juga ada banyak taman buat duduk dan baca buku. Tinggal bawa air botolan dan 1 snack aja biar betah duduk di sana. Meskipun terik, anginnya lumayan kenceng dan ngga ada bau-bau aneh macem bau sampah atau bau kali. Minusnya cuma suka ada anjing.

Kalau gue kepanasan, gue tinggal melipir ke mall. Singapore punya banyak mall. Mau masuk ke mall yang mewah jual barang luxury atau mall sederhana, gue ngga pernah dilihatin dari atas sampai bawah kalau masuk pakai celana pendek. Omong-omong soal mall, kalau lo masuk mall dan disodorin brosur kartu kredit, artinya style lo udah kelihatan kayak Singaporean.

Pengen ngemil? Singapore punya banyak cemilan aneh yang enak-enak. Kopi Cina ataupun artisan di sana taste very good. Ternyata sama kayak di Indonesia (especially Jakarta), industri food & beverages mereka juga lagi naik daun. Beberapa tempat favorit gue ngopi adalah Penny University (the best!), Nylon, Common Man, dan apa aja yang ada di Pasar Bella. Gue tinggal pilih mana yang sesuai sama mood.

Oya, di sana gue merasa bisa nikmatin gaya hidup yang lebih rapi. Beresin meja setelah jalan, buang sampah gampang karena banyak tempat sampah (kalau ngga ada, ngga aneh gue pegang sampah sementara sampai ketemu tempat sampah), nunggu bus di shelter, ngga nyeberang sembarangan.. menyenangkan!

Tapi kalau ditanya apakah gue pengen pindah ke sana, untuk sekarang jawabannya adalah ngga. Belum kepikiran. Biarin aja negara itu jadi tempat short gateway gue. Lagi pula setelah 3 malam di sana gue pasti selalu kangen Jakarta dengan ketidaksempurnaannya.

0 comments: