Saturday, July 27, 2019

Coffee Talk #7: Comfort Zone / In Control / Grounded.


Minggu lalu di jam istirahat kantor gue ketemu sama temen yang kerja sebagai HR di kantor lain buat ngupi cantik. Dia bener-bener HR garis keras, meanwhile gue banyak banget skip-nya. Karena tau perbedaan itulah jadi kalau kami ketemu, paling males bahas urusan per-HR-an atau per-kantor-an soalnya tau banget perbedaan sudut pandangnya.

Siang itu, singkatnya, kami lumayan seru ngomongin tentang manusia yang senang comfort zone gara-gara awalnya gue cerita, "Gue lagi sering kerja remote.. tiap pagi nyari coffee shop yang ngga jauh dari kantor buat kerja sendiri biar fokus." Akhirnya untuk pertama kali dalam setahun terakhir kami ngomongin tentang per-kantor-an lagi karena pengalaman paling deket dengan comfort zone adalah soal kantor/pekerjaan yang kita jalani selama 1/3 hari. FYI, kantor gue kayak lagi ngalamin growth spurt gitu dan gue belum nyaman bekerja di satu physical environment yang rame. Entah kenapa gue merasa sesek.

Tapi apakah tempat yang sepi dan hening merupakan comfort zone gue? Ngga. Buat gue, comfort zone itu psychological state yang vague banget. Untuk dapat dikatakan berada di dalam comfort zone, gue harus merasa familiar dan in control. Jadi gue lebih merasa nyaman karena gue merasa "in control", bukan karena gue berada dalam "comfort zone".


Trus gue cerita deh akhirnya.. Cerita pendek tapi intinya ngeluh dan mempermasalahkan kenapa akhir-akhir ini gue tidak merasa in control. Mulai dari endometriosis dan pengobatan Taprosnya yang bikin gue berantakan (both physically and mentally), pertumbuhan jumlah orang di kantor, clients' behaviour  yang unpredicable, wah pokoknya panjang kalau gue mau ngeluhin semua hal di tulisin ini. Tapi intinya satu: akhir-akhir ini gue merasa ngga bisa mengontrol banyak hal dan gue bingung kenapa gue biarkan hal ini mempengaruhi keseharian gue.

Gue mencoba untuk menyingkirkan efek dari physical weakness gue ya (a.k.a goddamned endometriosis itu), sehingga bersisa beberapa "uncontrolled things" lainnya yang bersumber dari eksternal (dan mostly dari pekerjaan). Why does it happen? Apakah karena pendewasaan? Apakah karena gue masuk ke industri baru? Apakah client lagi under pressure dan melampiaskan ke gue dan team? Apakah karena ini? Apakah karena itu? Lalu gue kayak drowned alive dalam pertanyaan gue sendiri. Akhirnya sering banget nge-zombie di kantor hahaha.... Untung banget kantor fasilitasin training muaythai dan running di GBK jadi gue bisa akrab sama team dan haha-hihi di luar urusan kantor.

Gue tipe orang yang kalau masuk lift, gue pencet tombol close doornya walaupun gue tau pintu itu ngga akan ketutup cepet juga. Dan berhubung gue sering ngga bisa bedain simbol close dan open,  sering terjadi hal sebaliknya. Tapi perasaan gue bisa mengontrol sesuatu itu ya bikin gue enak. Bikin gue nyaman :) Dan bikin gue tenang :D

Abis ngoceh-ngoceh mengeluh, temen gue bilang, "Lo tuh karirnya kecepetan sih, jadi kebiasaan jadi superior! Padahal innerself lo bocah banget.. dikontrol pacar aja lo nurut kan?"

Gleg. She knows me so well.. :P

Ya sebenernya ngga gitu juga sih, tapi emang bener ada porsinya juga gue melembek dan nyaman aja dikontrol orang *idung kembang kempis* Pembicaraan pun bubar pas gue jawab temen gue dengan, "Sama pacar mah ngga dikontrol, tapi dipeyuk, karena itu comfort zone!"

Ketika gue balik ke kantor dari ngupi cantik itu, gue mikirin banyak cara untuk bisa membuat gue lebih grounded. Kalau banyak hal yang ngga bisa gue kontrol, setidaknya dengan perasaan grounded gue tau di mana gue berdiri sehingga gue mampu mengontrol diri gue. Sepertinya itu pekerjaan yang mudah, tapi sebenernya sama sekali ngga mudah.


0 comments: